Tuesday, August 10, 2010

Puasa dan Metabolisme Energi

Dalam kaitannya dengan konsumsi makanan, metabolisme energi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sefalik (cephalic), fase absorptif (absorptive), dan fase puasa (fasting). Fase sefalik mencangkup suatu periode singkat mulai dari bekerjanya sensor pengelihatan dan sensor penciuman sampai permulaan konsumsi dan penyerapan makanan. Sedangkan fase absorptif mencangkup periode ketika energi yang diserap dalam aliran darah mencukupi seluruh kebutuhan energi tubuh. Fase puasa dimulai dari lengkapnya fase penyerapan sampai persiapan untuk peristiwa makan berikutnya.

Pada dasarnya metabolisme energi dikendalikan oleh dua jenis hormon pankreatik, yaitu insulin dan glukagon. Insulin dirilis oleh pankreas selama fase sefalik dan absorptif. Insulin ini meningkatkan penggunaan glukosa (gula sederhana) sebagai sumber energi tubuh dan mengkonversi glukosa menjadi glikogen dan lemak. Glikogen dan lemak adalah cadangan glukosa tubuh yang disimpan di berbagai tempat penyimpanan di tubuh (otot, hati, lapisan bawah kulit).

Dengan adanya insulin, kadar glukosa dalam darah tetap meskipun mendapatkan masukan glukosa dari makanan. Sementara itu glukagon dirilis oleh pankreas pada saat tubuh memasuki fase puasa. Tugas glukagon adalah mengkonversi glikogen menjadi glukosa dan mencegah terjadinya penurunan glukosa darah secara drastis (hipoglikemia).

Pada fase puasa, kebanyakan sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi karena glukosa tidak dapat memasuki sel tanpa insulin. Oleh karenanya kebanyakan sel tubuh menggunakan asam lemak babas sebagai sumber energi. Glukosa dapat memasuki sel sistem saraf pusat tanpa insulin dan karena itu sel-sel saraf pusat tetap dapat memanfaatkan glukosa sampai suatu periode kelaparan (starvation) dimulai saat sel-sel saraf memanfaatkan keton (produk lemak) sebagai sumber energi.

Demikianlah ketika kita berpuasa, terjadi perpanjangan fase puasa dalam metabolisme energi. Perpanjangan ini dapat ditolerir oleh tubuh karena glukosa dalam darah dipertahankan dalam kadar normal (atau sedikit di bawah normal) melalui konversi glikogen menjadi glukosa oleh glukagon. Sel-sel tubuh juga secara otomatis mengalihkan sumber energinya menjadi asam lemak bebas dan bukan lagi glukosa.

Penurunan kadar glukosa terjadi secara drastis dalam waktu 4-6 jam pertama setelah terakhir makan. Jadi jika sahur pukul 03.30 maka kira-kira pukul 8-10 pagi glukosa yang tersedia dalam darah menurun, sehingga biasanya rasa lapar mulai terasa menggigit. Namun dalam waktu tidak berapa lama rasa lapar itu akan hilang karena tubuh mengganti sumber energi ke asam lemak dan glukosa hanya digunakan oleh sel-sel otak, juga terjadi perubahan glikogen menjadi glukosa yang membantu mempertahankan kadar glukosa dalam darah. Menurut beberapa referensi, periode fasting yang sebenarnya terjadi jika tubuh tidak dimasuki makanan apapun sampai 48 jam berturut-turut. Artinya puasa yang kita jalani selama sekitar 12-14 jam masih jauh berada di bawah ambang tersebut.

Ketika menjelang buka puasa, kita merasakan lapar dan ingin makan sepuasnya karena reaksi tubuh terhadap petunjuk-petunjuk eksternal mengenai kehadiran makanan (external clues) dan tubuh memasuki fase sefalik dari metabolisme energi sebagai reaksi terhadap stimulus yang diterima oleh sensor-sensor tubuh. Jika telah tiba waktunya, disarankan untuk segera berbuka dan memulainya dengan konsumsi makanan yang manis (mengandung glukosa) sebelum kemudian dilanjutkan dengan konsumsi makanan sumber karbohidrat, protein, dan lemak.

Oh ya jangan lupa, berhentilah makan sebelum merasa kenyang betul agar organ pencernaan kita tidak mengalami kelebihan beban (overload). Selamat berpuasa!

*Ir. Ahmad Syafiq, MSc - Dosen FKM-UI*

Sumber: Puasa dan Metabolisme Energi

0 comments:

Post a Comment